Jumat, 23 Desember 2016

Makalah Chelonia (Penyu Laut)

Chelonia (Penyu Laut)





BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung. Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana Caretta caretta dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa Caretta caretta memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Limpus et al. 1992, Charuchinda et al. 2002). Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu.
Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh Negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi.
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan kekayaan flora dan fauna yang sangat tinggi. Ditinjau dari manfaatnya, kekayaan flora dan fauna di Indonesia memberikan sumbangan yang sangat penting bagi keseimbangan kehidupan di bumi ini. Yang harus selalu diingat bahwa setiap mahluk hidup didunia diciptakan dengan perannya masing-masing. Jadi punahnya satu jenis flora dan fauna sedikit banyak akan mengganggu keseimbangan alam.
Ironisnya, selain salah satu Negara dengan kekayaan hayati yang tinggi, Indonesia juga merupakan salah satu Negara yang mempunyai laju kepunahan jenis yang tinggi. Saat ini kekayaan flora dan fauna Indonesia menghadapi tekanan yang sangat tinggi, sehingga banyak diantarannya berada dalam kondisi yang hampir punah. Tekanan yang ada diakibatkan tingginya laju perubahan tata guna lahan (habitat alami satwa dikonversi menjadi lahan-lahan pertanian dan semakin maraknya penebangan hutan secara liar).

Kondisi ini diperparah dengan semakin tingginya perburuan liar yang terjadi di Indonesia saat ini. Ini diakibatkan tingginya permintaan pasar terhadap jenis satwa-satwa liar eksotis dan langka menyebabkan laju perburuan liar hampir-hampir tidak bisa dikendalikan lagi. Salah satu dari kekayaan fauna di Indonesia adalah spesies penyu. Enam dari tujuh spesies penyu yang ada di dunia ditemukan di perairan Indonesia dan bertelur di beberapa pantai di negeri ini.
Oleh karena itu kita sebagai masyarakat dihimbau untuk dapat  membantu pemerintah dalam usaha pelestarian satwa liar dengan mendukung upaya pelestarian penyu, serta mencoba mengembalikan peran satwa penyu didalam habitatnya. Dengan berlatar belakang hal tersebut maka kami membuat makalah ini, agar pembaca mengerti bagaimana kehidupan satwa di Indonesia.

BAB II
ISI

Gerakannya yang unik dan khas seakan menggambarkan kelihayan perenang dasar laut yang mempesona. Ini mungkin bisa menggambarkan betapa unik dan indah melihat penyu laut berenang bebas dibawah permukaan laut. Dengan menggerakkan kedua kaki renang depan untuk mengontrol gerakan dan kecepatan, hewan ini bergerak gesit di dasar laut. Juga dengan bantuan kaki belakang sebagai penyeimbang seakan memberikan kesempurnaan gaya renang yang memukau.



Ada beberapa jenis (species) penyu laut yang hidup di perairan .  Diantaranya penyu hijau atau dikenal dengan nama green turtle (Chelonia mydas)penyu sisik atau dikenal dengan nama Hawksbill turtle (Eretmochelys imbricata), penyu lekang atau dikenal dengan nama Olive ridley turtle (Lepidochelys olivacea)penyu belimbing atau dikenal dengan nama Leatherback turtle (Dermochelys olivacea), penyu pipih atau dikenal dengan nama Flatback turtle (Natator depressus) dan penyu tempayan atau dikenal dengan nama Loggerhead turtle (Caretta caretta). Dari jenis ini Penyu Belimbing adalah penyu terbesar dengan ukuran mencapai 2 meter dengan berat 600 – 900 kg.  Yang terkecil adalah penyu lekang dengan ukuran paling besar sekitar 50 kg.

Penyu Hijau (Chelonia mydas)
Jenis penyu hijau, atau yang biasanya dikenal dengan nama Chelonia mydas adalah penyu laut besar yang termasuk dalam keluarga Cheloniidae. Hewan ini adalah satu-satunya spesies dalam golongan Chelonia. Mereka hidup di semua laut tropis dan subtropis, terutama di Samudera Atlantik dan Samudera Pasifik. Namanya didapat dari lemak bewarna hijau yang terletak di bawah cangkang mereka.
Penyu hijau dapat diidentifikasi berdasarkan adanya sepasang sisik prafrontal yang merupakan sisik diantara kedua matanya. Ciri identifikasi ini mirip seperti penyu belimbing dan penyu tem payanyang mempunyai dua pasang prafrontal. Penyu hijau dapat dibedakan dari penyu pipih oleh tidak adanya sisik praokular dan karapaks yang seperti kubah. Penyu ini pada karapaksnya terdapat empat pasang sisik dan disekitar mata terdapat dua pasang sisik. Sisik pada jenis penyu ini tidak tumpang tindih. Panjang karapaks penyu ini yang pernah dijumpai adalah 75-115 cm dan beratnya mencapai 300 kg.
Penyu hijau memakan semua jenis tumbuh-tumbuhan yang hidup dilaut (mis; ganggang laut, lamun, lumut dan ikan). Musim kawin dari penyu ini berlangsung antara Januari dan Mei. Penyu betina dapat bertelur antara 100 sampai 125 butir dalam sekali bertelur. Waktu pengeraman terjadi sekitar 50 sampai 60 hari. Usia penyu ini dapat mencapai 200 tahun. Penyu hijau terdapat dimana-mana diperairan tropik dan subtropik. Di Indonesia, penyu ini terdapat diperairan pantai Jawa, Bali, Sumatera dan mungkin di semua perairan pantai yang landai di Indonesia. Di Bali, dagingnya di konsumsi (dimakan) dan karapaksnya dijadikan kerajinan tangan untuk para wisatawan.
Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu lainnya.  Jenis seperti penyu belimbing di laporkan telah sangat berkurang jumlahnya dan termasuk salah satu jenis yang hampir hilang di perairan , hanya beberapa tempat yang masih sesekali menjadi tempat memijah bagi jenis penyu ini. Penyu belimbing adalah penyu yang di lindungi dan masuk dalam CITES (Convention on International Trade of Endangered Species) Appendix.
Sebenarnya, penyu hijau dari dulu secara ekstensif telah diburu di indonesia, terutama untuk dagingnya, telurnya juga dapat dikumpulkan dalam skala besar. Oleh karena itu, populasi dari penyu hijau di Indonesia menurun dengan cepat. Tukik penyu hijau yang berada di sekitar teluk California hanya memakan alga merah. Penyu hijau akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Ketika penyu hijau masih muda mereka makan berbagai jenis biota laut seperti cacing laut, udang remis, rumput laut, juga alga. Ketika tubuhnya mencapai ukuran sekitar 20-30 cm, mereka berubah menjadi herbivora dan makanan utamanya adalah rumput laut.


Penyu hijau merupakan jenis penyu yang paling sering ditemukan dan hidup di laut tropis. Dapat dikenali dari bentuk kepalanya yang kecil dan paruhnya yang tumpul. Dinamai penyu hijau bukan karena sisiknya berwarna hijau, tapi warna lemak yang terdapat di bawah sisiknya berwarna hijau. Tubuhnya bisa berwarna abu-abu, kehitam-hitaman atau kecokelat-cokelatan.
Klasifikasi Penyu hijau  menurut Linnaeus  adalah :
Kingdom       : Animalia
Filum             : Chordata
Kelas             : Reptilia
Ordo             : Testudinata
Famili            : Cheloniidae
Genus            : Chelonia
Spesies          : Chelonia mydas L. (Tanjung, 2001).

Morfologi Penyu
Sesuai dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Penyu hijau  dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang.   Berat Penyu hijau  dapat  mencapai  400 kg,  namun di  Asia Tenggara yang  tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini.  Penyu hijau  di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur panas.  Anak-anak Penyu hijau  (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau  yang berada  di   sekitar  Teluk California  hanya  memakan  alga merah.  Penyu hijau  akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali (Nuitja, 1992).
Perisai atau karapasnya berbentuk hati dengan tepi rata, jumlah keping kostal 4 pasang,berwarna hijau cokelat dengan bercak tua sampai hitam. Keping kostal ukuran lebarnya hampir dua kali di banding dengan lebar keping vertebral. Keping marginalnya relatif sempit. Kepalanya memiliki sepasang sisik prefrontal yang lebar dan mempunyai tepi yang berwarna putih. Kaki depannya dipenuhi dengan sisik yang relatif berukuran sama, sehingga jari-jarinya tidak terlihat jelas (Ali,2004). 
Ciri morfologi Penyu hijau  menurut Hirt (1971) dan Bustard (1972)dalam (Tanjung dkk, 2001) adalah terdapatnya sepasang prefrontal atau sisik pada kepala. Memiliki sisik perisai punggung (dorsal shield) yang tidak saling berhimpit, mempunyai empat pasang sisik samping yang tesusun bujur pada permukaan kepala dari arah kepala ke ekor (costal scute), dimana pasangan sisik samping pertama tidak menyentuh Nuchal. Pada bagian pinggir karapas terdapat 12 pasang Marginal Scute , kaki depan berbentuk pipih seperti dayung, terdapat sebuah kuku pada kaki depan yang besar.

Ekosistem dan Rantai Makanan Penyu
I.     Ekosistem Laut Pesisir Pantai
Ekosistem pesisir dan laut merupakan ekosistem alamiah yang produktif, unik dan mempunyai nilai ekologis dan ekonomis yang tinggi. ekosistem pesisir dan laut juga memiliki fungsi-fungsi ekologis penting, antara lain sebagai penyedia nutrien, sebagai tempat pemijahan, tempat pengasuhan dan tumbuh besar, serta tempat mencari makanan bagi beragam biota laut. Di samping itu, ekosistem pesisir dan laut berperan pula sebagai pelindung pantai atau penahan abrasi bagi wilayah daratan.
Dunia mengenal tujuh jenis penyu, dan enam diantaranya hidup di Indonesia. Enam penyu tersebut adalah penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata/Hawksbill Turtle), penyu pipih (Natator depressa), penyu abu-abu (Olive ridley turtle), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), penyu merah atau penyu tempayan (Caretta caretta). Satu penyu lainnya, yang hanya hidup di antara Laut Meksiko dan Lusiana, Amerika Serikat, adalah Leupidocalis caspri. Dari enam penyu yang ada di Indonesia salah satunya penyu hijau (Chelonia mydas) yang bertelur di Pantai Ujung Genteng. Melihat sifat fisik dari wilayah Pantai Selatan Jawa tentunya memiliki kontur yang curam. Kondisi topografi berupa kombinasi antara dataran rendah (pantai), bukit dan pegunungan.
Pantai Pangumbangan maka dapat dikatakan Pantai Pangumbahan termasuk jenis Pantai berpasir halus. Hal ini didasarkan pada pola hidup penyu yang hanya hidup dan mendarat di pantai yang berpasir halus kaya akan nutrient untuk tempat menetaskan telurnya. Kemudian kondisi pantai yang berhubungan langsung dengan samudera, meskipun bila diperbandingkan dengan beberapa pantai lain yang ada di Pantai Selatan seperti Pantai Sayang Heulang di Garut yang termasuk pada pantai berbatu.

II.  Ekosistem Pantai Berpasir Halus
Pantai berpasir dicirikan oleh ukuran butiran sedimen halus dan memiliki tingkat bahan organik yang tinggi, pantai ini pula banyak dipengaruhi oleh pasang surut yang mengaduk sedimen secara periodik. Interaksi organisme dengan sedimen dan pengaruh evaporasi perairan sangat tinggi di lingkungannya. Faktor fisik yang berperan penting mengatur kehidupan di pantai berpasir adalah gerakan ombak. Gerakan ombak ini mempengaruhi ukuran partikel dan pergerakan substrat di pantai. Jika gerakan ombak kecil, ukuran partikelnya kecil, tetapi jika gerakan ombak besar atau kuat, ukuran partikelnya akan menjadi kasar dan membentuk deposit kerikil.
Pengaruh ukuran partikel terhadap organisme yang hidup pada pantai tersebut adalah pada penyebaran dan kelimpahannya. Butiran pasir yang halus mempunyai retensi air yang mampu menampung lebih banyak air di atas dan memudahkan organisme untuk menggali. Gerakan ombak dapat pula mengakibatkan partikel-partikel pasir atau kerikil menjadi tidak stabil sehingga partikel-partikel substrat akan terangkut, teraduk, dan terdeposit kembali. Karena kondisi di lapisan permukaan sedimen yang terus menerus bergerak, maka hanya sedikit organisme yang mempunyai kemampuan untuk menetap secara permanen sehingga inilah yang menyebabkan pantai seperti terlihat tandus.
Faktor lingkungan seperti suhu, kekeringan, serta gerakan ombak beraksi secara beragam pada tiap pasang surut. Kekeringan bukan merupakan masalah selama pasir pantai cukup halus sehingga dapat menahan air melalui kegiatan kapiler selama pasang turun. Pasir juga merupakan penyangga yang baik bagi perubahan suhu dan salinitas yang besar.





III.   Rantai Makanan Pantai Berpasir Halus
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia.
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.
Organisme yang berada di pantai berpasir mempunyai kemampuan beradaptasi dengan dua cara yaitu dengan menggali substrat sampai kedalaman yang tidak lagi di pengaruhi gelombang yang lewat, kemampuan menggali substrat dengan cepat ketika gelombang lewat memindahkan organisme dari substrat. Adaptasi lain, kebanyakan molusca yang mengubur dirinya cenderung mempunyai cangkang yang licin dan berat. Adaptasi terakhir adalah mencegah terjadinya penyumbatan permukaan alat pernapasan yaitu dengan penyaring (sekat) yang dapat mencegah pasir masuk kedalamnya tetapi air dapat masuk.

Penyebaran  dan Habitat Penyu
Sebaran Penyu hijau  terdapat di Indo-Pasifik, Samudera Atlantik, Teluk Meksiko, sepanjang pesisir Argentina, di Laut Mediterania. Habitat Penyu hijau  ini hidup di perairan tropis dan sub-tropis di sekitar pesisir benua dan kepulauan. Penyu hijau  juga diketahui sering terdapat di antara terumbu karang pada daerah laut lepas.  Kemampuan migrasi Penyu hijau  pada beberapa populasi dapat mencapai jarak 2.094 kilometer dari habitat peneluran menuju habitat mencari makan. Meskipun daya jelajahnya sampai ribuan kilometer, uniknya Penyu hijau  hanya bereproduksi di tempat yang sama berdasarkan navigasi medan magnet bumi. Di Indonesia, jenis penyu ini tersebar di sekitar perairan tropika, laut seluruh Indonesia dan Papua Nugini. Hewan ini baru bisa mencapai usia dewasa sekitar 30-50 tahun. Jadi, Penyu hijau  memiliki siklus kehidupan yang panjang, namun tingkat kehidupannya rendah (Ali, 2004).

Tingkah Laku dan Kegiatan  Bertelur Penyu
Perilaku bertelur Penyu hijau  umumnya sama dengan penyu-penyu lainnya. Penyu hijau  menjadi primadona penangkar penyu, karena saat bertelurnya selalu tepat waktu, yaitu setiap 15 hari sekali, dengan melakukan 4 sampai 6 kali pendaratan untuk bertelur di waktu malam hari. Selain itu, Penyu hijau  merupakan satwa yang unik, karena secara insting, merekan akan hidup dan kembali bertelur ke tempat dimana mereka ditetaskanSama halnya dengan penyu-penyu lain, Penyu hijau  sangat peka terhadap getaran, kebisingan, lampu, dan berbagai aktivitas yang ditimbulkan oleh manusia. Gangguan-gangguan tersebut kerap kali menghantui penyu yang hendak bertelur (Ali,2004).
Betina Penyu hijau  berukuran besar dalam sekali bertelur dapat menghasilkan sampai 200 butir telur, sedangkan Penyu hijau  yang berukuran sedang menghasilkan sekitar 60 butir dalam satu kali mendarat. Di perkirakan perkawinan terjadi setelah penyu betina bertelur dan kembali ke daerah habitat perkawinan (Ali, 2004).
Telur Penyu hijau  ukuran diameternya sekitar 46 mm. Bentuk telur dari Penyu hijau  ini berbentuk agak bulat, lembut dan cukup lentur. Tukik merupakan anak penyu yang baru menetas, biasanya berwarna hitam, sedangkan bagian bawahnya berwarna putih. Tukik Penyu hijau  bersifat omnivora, makanannya adalah ikan kecil. Saat menginjak usia dewasa, jenis Penyu hijau  ini beralih menjadi hewan herbivora, makanannya berupa alga, rumput laut, ganggang dan daun bakau. Tukik Penyu hijau  sangat peka terhadap suhu lingkungan. Tukik dapat mengalami dehidrasi (kekurangan cairan) jika tidak masuk ke dalam laut beberapa jam setelah menetas dan berhasil menembus permukaan tanah, utamanya jika temperatur udara cukup tinggi. Tukik dapat mati kepanasan pada suhu 37o C. perlu kita ketahui bahwa dari beberapa pengamatan para ahli, dari 1000 butir telur yang berhasil menetas menjadi tukik, hanya satu diantaranya yang berhasil bertahan hidup sampai dewasa (Ali, 2004).

Ancaman Populasi dan Kepunahan Penyu
Penyebab penurunan populasi secara drastis yang dibenarkan oleh bahwa eksploitasi Penyu hijau  tertinggi di dunia berada di wilayah Indonesia. Tingginya tingkat eksploitasi yang dilakukan masyarakat Indonesia telah mempercepat laju kepunahan Penyu hijau . Umumnya penangkapan induk terjadi di laut lepas dan pemanenan telur di sekitar pantai peneluran. Jika penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan dan berlangsung terus-menerus selama beberapa dekade berakibat pada kepunahan populasi. Dibandingkan dengan kelima jenis penyu laut lainnya,  Penyu hijau  paling intensif dieksploitasi karena daging dan telurnya digemari masyarakat pesisir. Permintaan Penyu hijau  yang tinggi disebabkan beberapa alasan mulai dari konsumsi rumah tangga, sumber pendapatan masyarakat, kepentingan adat hingga sumber Pendapatan Asli Daerah (Anonim, 2010).
Indikasi kegagalan perlindungan Penyu hijau  ditunjukkan oleh tingginya eksploitasi Penyu hijau  di berbagai wilayah Indonesia, penurunan jumlah penyu yang mendarat di pantai peneluran dan rendahnya dukungan masyarakat. Ancaman kepunahan Penyu hijau  semakin nyata jika pemerintah tidak segera menghentikan eksploitasi Penyu hijau . Untuk penyelamatan Penyu hijau  dari kepunahan diperlukan analisis kebijakan perlindungan dan perumusan alternatif perlindungan Penyu hijau  di masa mendatang. Eksploitasi yang tinggi dan implikasinya dapat dipandang dari beberapa aspek, antara lain:

a) Aspek ekologi
−   Hilangnya kemampuan reproduksi populasi
Penangkapan induk dan pemanenan telur penyu secara berlebihan akan menghilangkan kemampuan reproduksi populasi. Hilangnya kemampuan reproduksi dapat ditandai dengan: (a) Jika konsumsi daging penyu berasal dari penangkapan semua induk yang akan bertelur; (b) Jika terjadi pemanenan semua telur yang ada di sarang. Apabila ekploitasi induk dan telur berlangsung secara terus-menerus selama beberapa dekade akan menimbulkan kepunahan spesies Penyu hijau .
−  Kerusakan habitat
Penyu hijau  adalah jenis herbivora yang kelangsungan hidupnya tergantung pada keutuhan ekosistem terumbu karang. Terumbu karang merupakan habitat feeding Penyu hijau  yang menyediakan berbagai jenis tumbuhan rumput laut. Penggunaan alat tangkap yang merusak, seperti dinamit dan racun potasium yang dilakukan nelayan telah menimbulkan hilangnya sumber pakan populasi Penyu hijau  yang berakibat ancaman kepunahan.
b) Aspek sosial
Kebiasaan bermigrasi jauh menjadikan populasi Penyu hijau  di laut sebagai sumberdaya open access. Situasi open access diindikasikan oleh tidak ada pengelolaan dan tidak ada kepemilikan yang membatasi pemanfaatan Penyu hijau . Sebagai satwa buruan yang memiliki nilai ekonomis tinggi jika tidak ditangkap orang hari ini akan ditangkap orang lain di lain hari. Eksploitasi secara berlebihan hingga melampaui daya dukungnya akan mengarahkan kepunahan spesies dalam waktu dekat.
c) Aspek ekonomi
Penyu hijau  merupakan spesies penyu laut yang paling intensif dieksploitasi. Jika dibandingkan dengan harga per ekor ikan, nilai ekonomis Penyu hijau  tergolong tinggi (±1 juta rupiah/ekor untuk ukuran induk). Tingginya eksploitasi Penyu hijau  yang diawali sebagai pemenuhan kebutuhan protein keluarga dan pendapatan masyarakat lokal. Dalam perkembangannya eksploitasi penyu berkembang sebagai perdagangan Penyu hijau  ilegal yang melibatkan tata niaga dengan biaya transaksi yang tinggi.
d) Aspek budaya
Umumnya eksploitasi Penyu hijau  sulit dihentikan karena ada anggapan bahwa ketersediaan Penyu hijau  di alam masih berlimpah dan masyarakat tidak peduli akan status spesies dilindungi. Pada kasus Sukabumi, penyu sebagai sumber protein murah dan mudah didapatkan di daerah pantai. Mitos yang berkembang tentang khasiat daging dan telur penyu telah menimbulkan peningkatan eksploitasi penyu dari tahun ke tahun. Pada kasus Pulau Bali pengiriman penyu dari berbagai wilayah Indonesia berkaitan dengan kepentingan adat. Adanya perdagangan penyu secara ilegal (black market) di daerah Tanjung Benoa Bali merupakan bukti sulitnya menghentikan konsumsi daging penyu untuk kepentingan adat.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Penyu hijau adalah salah satu jenis penyu laut yang umum dan jumlahnya lebih banyak di banding beberapa penyu lainnya. Sesuai dengan namanya, warna tubuh, lemak dan dagingnya agak kehijau-hijauan. Penyu hijau  dewasa hidup di hamparan padang lamun dan ganggang.   Berat Penyu hijau  dapat  mencapai  400 kg,  namun di  Asia Tenggara yang  tumbuh paling besar sekitar separuh ukuran ini.  Penyu hijau  di Barat Daya kepulauan Hawai kadang kala ditemukan mendarat pada waktu siang untuk berjemur panas.  Anak-anak Penyu hijau  (tukik), setelah menetas, akan menghabiskan waktu di pantai untuk mencari makanan. Tukik Penyu hijau  yang berada  di   sekitar  Teluk California  hanya  memakan  alga merah.  Penyu hijau  akan kembali ke pantai asal ia dilahirkan untuk bertelur setiap 3 hingga 4 tahun sekali. Penyu hijau  merupakan satwa yang unik, karena secara insting, merekan akan hidup dan kembali bertelur ke tempat dimana mereka ditetaskan.






Daftar Pustaka

Ali, Z.M. 2004. Karya Ilmiah Pelestarian Penyu Hijau di Pantai Selatan Tasikmalaya. Karya Ilmiah Tentang Pelestarian Penyu Hijau : Tasikmalaya.
Nuitja, I., N., S.,  1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tanjung,Yonatan, Suherman, Misnawati, Rostina. 2001. Studi Tingkah Laku Bertelur dan Keberhasilan Penetasan Secara Alamiah di Pulau Sangalaki Kecamatan Derawan. Kabupaten Berau. Laporan Penelitian Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unmul: Samarinda.

Azkab, M. H. 1994. Komunitas Padang Lamun pada Tiga Pulau dari Kepulauan Seribu dengan Kegiatan Manusia yang Berbeda. Makalah Penunjang pada Seminar Pemantauan Pencemaran Laut. Jakarta, 7-9 Februari 1994. Puslitbang Oseanologi LIPI, Jakarta. hal. 93-98.
Barber, B.J.1985. Effects of elevated temperature on seasonal in situ leaf productivity of Thalassia testudinum banks ex konig and Syringodium fliforme kutzing. Aquatic Botany 22:61-69.
Bengen,D.G. 2001. Sinopsis ekosistem dan sumberdaya alam pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Instititut Pertanian Bogor.
Dahuri, R. 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 412 halaman.

1 komentar: